Di Jumat siang itu, apa sebenarnya yang terjadi?
Di Jumat siang itu, bumi menangis teramat sedih. Meratapi kematian putranya. sebab agama, untuk kesekian kali, telah menelan korban lagi.
Sampai kini, lama setelah Jumat siang itu, bumi tetap meratap.
Sebab korban² baru terus berjatuhan. demi dan atas nama kemurnian agama.
Toh itu belum cukup bukti untuk percaya bahwa agama itu berwatak ganda.
Disatu sisi berbicara tentang Allah yang maha rahmani, lagi rahimi; tentang hidup abadi bagi mereka yang bijak dan bajik.
Namun di sisi yang lain, matanya menyala penuh benci. Mulutnya menganga siap menelan korban. Tangannya tak segan² merakit bom dan menghunus pedang.
orang masih tak percaya, sambil berkata bahwa itu cuma ulah 'oknum'semata-mata. Tentang ini, saya cuma bisa bertanya: apakah agama, bila bukan orang²nya?
Marilah kita katakan, di Jumat siang itu, orang² beragama menyalibkan Dia; Atas nama kebenaran dan demi kemurnian agama (baca: agama Yahudi).
Mereka menyalibkan Dia bukan karena Dia jahat. Dimata penganut agama yang fanatik; kejahatan bukanlah dosa utama. mereka lebih memilih Barabas yang jahat, ketimbang Yesus yang mereka sebut penghujat dan penyesat.
Yang jadi soal adalah, kejahatan itu punya ukuran, misalnya; merampok, membunuh atau berjinah.. ITU JAHAT!!!
Namun penghujat dan penyesat, apa ukurannya???
Sesungguhnya untuk penghujat dan penyesat, tak ada ukuran yang bisa berlaku dimana-mana. Mungkin satu-satunya ukuran untuk 'penghujat dan penyesat' adalah: sebab ANDA MEMPUNYAI KEYAKINAN YANG BERBEDA DARI SAYA. Dan bagi sementara penganut agama, "berbeda" itu jahat, sesat dan amat berbahaya.. :(
Bila saya benar, itu berarti anda salah.. Agama lalu menampakan wajah garang demi satu hal itu tadi, bahwa: MENUMPAS PERBEDAAN ADALAH IDENTIK DENGAN MEMBELA KEBENARAN..
Di Jumat siang itu, bumi menangis dengan teramat sedihnya. meratapi kematian putranya. sebab agama, untuk kesekian kali, telah memakan korban lagi..
Dan sampai kini, lama setelah Jumat siang itu, bumi tetap meratap. Sebab korban² baru terus berjatuhan, Demi dan atas nama kemurnian agama.
Sesungguhnya kita pun ikut menangis.. Namun tak hanya cukup dampai menangis,
Kita harus mencegah korban² berjatuhan dalam kesia-siaan.
Kita mempunyai tanggung jawab untuk mengubah citra agama sebagai 'monster' yang haus darah.
Kita mempunyai panggilan untuk menampilkan wajah agama yang lebih ramah. Sebab itu yang dibutuhkan oleh dunia kita. DAN ITU SANGAT MUNGKIN KITA LAKUKAN!!
But how we do that??
Mulailah dengan Percaya dan yakin pada TUHAN yang Satu itu!!
Dan itu berarti bahwa; yang lain - apa pun itu - bukanlah Tuhan..
Karena itu apapun juga yang lain itu -termasuk keyakinan agama kita- tidak boleh kita per-Tuhan-kan, tidak boleh kita mutlakkan!!
Yang kita sembah hanya Tuhan. Kita tidak menyembah agama.
Kita menghormati keyakinan agamawi kita, itu pasti, tapi tidak memper-Tuhan-kannya.
Kita meyakini kebenaran agama kita, tentu saja, tapi tidak perlu memper-setan-kan yang lain.
Kita bersedia mati demi keyakinan agama kita, oo jelas itu, tapi tidak perlu membunuh.
Kita tak pernah memperjual-belikan prinsip² kebenaran agamawi kita, tentu saja, tapi tak perlu menutup hati dan telinga untuk saling belajar dari yang lain..
Itulah INKLUSIVISME..
Artinya: Tuhan kita yang satu itu saja yang mesti kita mutlakkan. Ia bekerja melalui agama kita, tetapi agama kita terlampau kecil untuk memenjarakan-Nya. Ia tetap bebas berdaulat untuk bekerja dengan cara apa saja dan melalui apa saja, tidak cukup cuma melalui kita.
Ah, sekiranya pemimpin² agama Yahudi pada waktu itu mau membuka diri untuk percaya bahwa Allah tidak hanya bekerja melalui struktur² agamawi mereka, tragedi di Jumat siang itu sebenarnya tak perlu terjadi..
Tapi itu sudah terjadi. Soalnya, apakah kita akan tetap mengulanginya?? mudah-mudahan tidak..
Marilah kita katakan, di Jumat siang itu, orang² beragama menyalibkan Dia; Atas nama kebenaran dan demi kemurnian agama (baca: agama Yahudi).
Mereka menyalibkan Dia bukan karena Dia jahat. Dimata penganut agama yang fanatik; kejahatan bukanlah dosa utama. mereka lebih memilih Barabas yang jahat, ketimbang Yesus yang mereka sebut penghujat dan penyesat.
Yang jadi soal adalah, kejahatan itu punya ukuran, misalnya; merampok, membunuh atau berjinah.. ITU JAHAT!!!
Namun penghujat dan penyesat, apa ukurannya???
Sesungguhnya untuk penghujat dan penyesat, tak ada ukuran yang bisa berlaku dimana-mana. Mungkin satu-satunya ukuran untuk 'penghujat dan penyesat' adalah: sebab ANDA MEMPUNYAI KEYAKINAN YANG BERBEDA DARI SAYA. Dan bagi sementara penganut agama, "berbeda" itu jahat, sesat dan amat berbahaya.. :(
Bila saya benar, itu berarti anda salah.. Agama lalu menampakan wajah garang demi satu hal itu tadi, bahwa: MENUMPAS PERBEDAAN ADALAH IDENTIK DENGAN MEMBELA KEBENARAN..
Di Jumat siang itu, bumi menangis dengan teramat sedihnya. meratapi kematian putranya. sebab agama, untuk kesekian kali, telah memakan korban lagi..
Dan sampai kini, lama setelah Jumat siang itu, bumi tetap meratap. Sebab korban² baru terus berjatuhan, Demi dan atas nama kemurnian agama.
Sesungguhnya kita pun ikut menangis.. Namun tak hanya cukup dampai menangis,
Kita harus mencegah korban² berjatuhan dalam kesia-siaan.
Kita mempunyai tanggung jawab untuk mengubah citra agama sebagai 'monster' yang haus darah.
Kita mempunyai panggilan untuk menampilkan wajah agama yang lebih ramah. Sebab itu yang dibutuhkan oleh dunia kita. DAN ITU SANGAT MUNGKIN KITA LAKUKAN!!
But how we do that??
Mulailah dengan Percaya dan yakin pada TUHAN yang Satu itu!!
Dan itu berarti bahwa; yang lain - apa pun itu - bukanlah Tuhan..
Karena itu apapun juga yang lain itu -termasuk keyakinan agama kita- tidak boleh kita per-Tuhan-kan, tidak boleh kita mutlakkan!!
Yang kita sembah hanya Tuhan. Kita tidak menyembah agama.
Kita menghormati keyakinan agamawi kita, itu pasti, tapi tidak memper-Tuhan-kannya.
Kita meyakini kebenaran agama kita, tentu saja, tapi tidak perlu memper-setan-kan yang lain.
Kita bersedia mati demi keyakinan agama kita, oo jelas itu, tapi tidak perlu membunuh.
Kita tak pernah memperjual-belikan prinsip² kebenaran agamawi kita, tentu saja, tapi tak perlu menutup hati dan telinga untuk saling belajar dari yang lain..
Itulah INKLUSIVISME..
Artinya: Tuhan kita yang satu itu saja yang mesti kita mutlakkan. Ia bekerja melalui agama kita, tetapi agama kita terlampau kecil untuk memenjarakan-Nya. Ia tetap bebas berdaulat untuk bekerja dengan cara apa saja dan melalui apa saja, tidak cukup cuma melalui kita.
Ah, sekiranya pemimpin² agama Yahudi pada waktu itu mau membuka diri untuk percaya bahwa Allah tidak hanya bekerja melalui struktur² agamawi mereka, tragedi di Jumat siang itu sebenarnya tak perlu terjadi..
Tapi itu sudah terjadi. Soalnya, apakah kita akan tetap mengulanginya?? mudah-mudahan tidak..
Dikutip dari renungan MR by EDP
0 comments:
Posting Komentar